Menembus Jepang dengan Kotoran Cacing
November 27, 2008 — ministrans Perkenalan Warno (44) dengan cacing bermula tahun 1998. Tepatnya ketika ia baru saja terkena pemutusan hubungan kerja dari perusahaan kontraktor tempatnya bekerja. Pada saat yang bersamaan, rumah toko miliknya di Harapan Baru, Cakung, Jakarta Timur, ludes dijarah saat aksi kerusuhan massal meledak di Jakarta, Mei 1998.“Enam bulan terakhir sebelum diberhentikan masih ada borongan, tetapi hanya kecil-kecil. Karena tidak cukup untuk biaya keluarga, saya putuskan pindah ke kampung.” kenang Warno. Bukan kampung halamannya di Wonogiri yang menjadi tujuan pulang kampung, melainkan Desa Cibodas, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung.
Di Desa berjarak sekitar 22 kilometer dari kota Bandung itu Warno memiliki rumah dan tanah seluas 800 meter persegi. “Saya ingin jadi petani,” begitu jawabnya ketika didtanya rekan-rekan kerjanya tentang alasan pulang kampung.
Ia mulai terjun ke dunia pertanian dengan membeli bibit cacing sebanyak 30 kilogram melalui koperasi Sabda Alam Jakarta. Dengan harga Rp. 200.000 per kilogram, modal awalnya sebesar 6 juta.
Sejak krisis ekonomi menghantam negeri ini tahun 1997 dan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran, budidaya cacing memang sempat booming. Yang terpikir di benaknya saat itu hanyalah membudidayakan cacing. “Bibit cacing itu kalau sudah panen akan dibeli lagi oleh koperasi seharga 130.000 per kilogram,” kata Warno.
Akan tetapi, setelah empat bulan berjalan, cacing itu tidak dapat dibeli. Harganya pun anjlok menjadi Rp. 20.000 per kiogram. “Baru ternyata ternyata mereka itu semacam mafia dan ada unsur penipuan. Setelah koperasi bubar. Uang miliaran rupiah dibawa kabur oleh pengurusnya,” tutur Warno.
Ggal dalam usaha budidaya cacing yang awal itu tidak membuat Warno patah arang. Ia sadar bisa memanfaatkan budidaya cacing untuk hasil yang lebih produktif. Ia teringat pada “ilmu pertanian” dari kebun sebelah rumahnya.
Pikirannya melayang pada kejadian di sebidang kebun milik orangtuanya di Desa Duren, kecamatan Jatiroto, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Pada musim hujan, ia melihat tanaman di kebunnya yang dekat pohon pisang tampak subur.
Padahal, hampir semua orang tahu, Wonogiri terkenal dengan tanahnya yang tandus saat musim hujan sekalipun. Setelah diamati lebih lanjut, sumber kesuburan itu ternyata berasal dari cacing-cacing di sekitar pohon pisang.
Dari kebun itulah warno mendapat ilmu bahwa cacing sangat bermanfaat bagi kesuburan tanaman. Itulah satu-satunya bekal “mata pelajaran” pertanian yang diperolehnya. Ia sendiri hanya lulusan Sekolah Teknik Menengah Pembangunan di Jatiroto, Wonogiri.
Melalui beberapa kali percobaan, ia akhirnya menemukan bahwa cacing-cacing itu sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk pupuk tanaman atau yang dinamakan pupuk bekas cacing (kascing). “Cacing ternyata mempunya sistem daur ulang yang luar biasa.” kata Warno.
Tidak puas hanya dengan memproduksi pupuk, ia mencoba menggarap sektor-sektor lain seperti peternakan dan perkebunan. Ia baru tahu belakangan ini bahwa usaha yang dijalankannya merupakan sistem pertanian terpadu (Integrated Farming System)
Berkat kreativitasnya dalam mengembangkan produksi pupuk kascing dalam sistem pertanian terpadu. Warno sering diminta menjadi wakil pemerintah Kabupaten Bandung dalam pameran-pameran pertanian. Ia juga sering diminta menjadi pembicara dalam penyuluhan-penyuluhan pertanian oleh Dinas Pertanian Pemerintah Kabupaten Bandung.
Empat Tahun setelah menekuni budidaya cacing. Warno kin menjadi seorang eksportir pupuk. Tidak tanggung-tanggung, negara yang dipasoknya adalah Jepang. Negara raksasa ekonomi Asia yang banyak memasarkan produknya ke negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Sudah dua kali ia mengirimkan pupuk buatannya ke negeri Sakura itu. Pertama, pada bulan Juli 2002 sebanyak 20 ton pupuk kascing diekspor ke jepang. Yang kedua bulan April lalu ketika ia mendapatkan pesanan 40 ton pupuk kascing.
“Sebenarnya yang diekspor itu tahi cacing,” kata Warno sambil mengawasi para pekerjanya mengangkut karung-karung pupuk kascing dari gudang ke empat truk Fuso, April lalu.
Jaringan pemasaran Warno ke Jepang terbangun berkat jasa temannya yang pernah bekerja di Negeri Matahari Terbit itu. Si teman kemudian menghubungkan Warno dengan mendatangkan pembeli (buyers) ke Indonesia.
“Sebenarnya kontak kita dengan pembeli mulai tahun 2001, tetapi mulai trials baru bulan juni 2002 sebanyak 20 ton.” tutur ayah dari Kiki Hendri Setiawan (20), Yopi Darmawan (16) dan Hendi Wijaya Saputra (12) itu.
Mengenai nilai ekspor pupuk kascing ke Jepang, Warno keberatan menyebutkan. Selain karena ekspor dua kali itu masih bersifat uji coba, ia juga beralasan sedang melakukan negosiasi dengan calon pembeli lainnya dari luar negeri. Dalam waktu dekat seorang pembeli dari Korea Selatan akan melihat pupuknya. Selain itu, tiga pembeli dari Jepang juga akan datang.
Kendati telah menjadi eksportir, penampilan Warno tetap bersahaja. Saat mengawasi para pekerjanya mengangkut pupuk ke atas truk, ia hanya mengenakan kaos kuning, training hitam, dan sandal warna hijau. Pada bagian punggung dan dada kiri kaosnya terdapat tulisan huruf kanji.
Warno mengatakan, kaos bertuliskan huruf kanji itu diperolehnya dari orang Jepang yang selama ini membeli pupuk kascing buatannya.” Katanya, tulisan ini berbunyi mimizunofu, bahasa Jepang yang artinya pupuk bekas cacing,” tuturnya.
Terlepas dari soal itu, yang jelas produksi pupuk kascing dari lembang itu telah “berbunyi nyaring” di Jepang, kendati masih terasa asing di negeri sendiri (B05)
sumber......> https://ministrans.wordpress.com/2008/11/27/menembus-jepang-dengan-kotoran-cacing/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar